Menuai Berkah dari Kekayaan Alam Menoreh

12 November 2019
Dibaca 414 Kali

Perbukitan Menoreh di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dilimpahi beragam kekayaan alam. Lewat daya kreatif manusia, sumber daya tersebut dimanfaakan mengungkit ekonomi termasuk di sektor pariwisata.

Perbukitan Menoreh yang membentang di Kabupaten Magelang dan Purworejo, Jawa Tengah serta Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dilimpahi beragam kekayaan alam. Lewat daya kreatif manusia, sumber daya tersebut dimanfaatkan mengungkit ekonomi termasuk di sektor pariwisata.

Sambil berjongkok, Afi Widiasari (15) beringsut perlahan mendekati kambing di depannya. Tangannya mencoba meremas puting kambing yang mulai gelisah, terus mengembik, sambil menggerakkan kakinya. Teman-temannya tertawa lepas tatkala Afi tiba-tiba berteriak kecil karena kaget saat salah satu kaki kambing tersentak menyepak-nyepak.

“Tadi saat meras susu, kambingnya berontak,” kata Afi siswi kelas X Jurusan Teknik Kendaraan Ringan SMK Putra Bangsa Salaman, Sabtu (26/10/2019) saat berkunjung ke Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Desa itu merupakan salah satu desa eduwisata kambing etawa.

Bagi Afi, pengalaman memerah susu kambing etawa merupakan hal baru. Di tengah rutinintas belajar mesin di sekolah, pada libur akhir pekan itu, Afi bersama 20 temannya dalam ekstrakurikuler pramuka belajar sekaligus berekreasi mengenal potensi lokal di sekitarnya. “Ini pengalaman menarik. Tadi pas mau mejet susunya itu malah kempes,” tutur Afi.

Meski di rumah, kedua orangtuanya memelihara kambing, Afi belum pernah sama sekali membantu mengurus hewan ternaknya, seperti memandikan atau memberi pakan. Demikian juga dengan rekan Afi, yaitu Sasti Asti Ayuningsih (16). Jenis kambing yang dipelihara kedua orangtua mereka adalah jenis kambing biasa yang dagingnya diperjualbelikan. “Di sini belajar memerah susu kambing dan minum susunya. Tadinya saya kira bau prengus, ternyata tidak,” kata Sasti.

Soim, pemilik kambing etawa yang juga penggerak wisata di Desa Ngargoretno memberikan sejumlah petunjuk teknis cara memerah kambing. Idealnya, waktu pemerahan dilakukan sebelum matahari terlalu terik atau di bawah pukul 08.00. Sebelum diperah, puting susu kambing dibilas dengan air. Lalu, air susu yang keluar pertama kali harus dibuang terlebih dahulu.

“Untuk wadah yang digunakan adalah botol dengan mulut yang kecil, jangan pakai baskom karena kotoran seperti bulu justru bisa masuk,” tutur Soim.

Idealnya, waktu pemerahan dilakukan sebelum matahari terlalu terik atau di bawah pukul 08.00. Sebelum diperah, puting susu kambing dibilas dengan air.

Setelah diperah, dalam waktu kurang dari dua menit, susu bisa dapat langsung diminum. Lebih dari itu, susu harus dipasteurisasi kemudian disimpan dalam freezer dan bisa tahan hingga sebulan. Mendengar arahan Soim, siswa-siswi dari SMK Putra Bangsa pun antusias bergantian meminum susu yang baru saja diperah.

Ada yang tutup mata dan ada pula yang sambil menutup hidung saat menenggak susu. “Rasanya agak asin-asin,” ujar Afi.

Soim menyampaikan, di desanya ada sekitar 110 ekor kambing etawa. Namun baru sekitar 20 kambing di tiga kandang yang diperah susunya dan menjadi destinasi wisata perah susu. Induk yang bisa diperah susunya, adalah induk kambing yang memiliki anakan usia 3 bulan. “Usia 3 bulan anak kambing sudah bisa disapih. Pagi susunya diperah, sore susu diminum anaknya,” tuturnya.

Menurut Soim, susu kambing rendah lemak dan baik bagi penderita diabetes serta asma. Soim dan sejumlah warga mengolah susu kambing ini menjadi es krim dengan rasa gula jawa, vanilla, dan stroberi. Produk itu dijual seharga Rp 20.000 per liter.

Untuk perawatan, kambing etawa ini dimandikan tiga hari sekali. Selain itu asupan gizi kambing juga diperhatikan. Setidaknya, Soim mengeluarkan dana pakan Rp 40.000 per hari bagi 12 ekor kambingnya terdiri dari rumput dan ampas tahu.

Membatik

Di Desa Ngargoretno, selain dikembangkan eduwisata susu kambing etawa, warga juga menginisiasi kerajinan batik. Widiharto (33), pemrakarsa Galeri Batik Kere Blirik Gendis mengatakan, produk batik tulis yang dirintisnya bermotifkan potensi-potensi khas di perbukitan Menoreh. Mulai dari motif kambing etawa, daun bambu, hingga kricaan atau bongkahan marmer yang merupakan ikon desa. “Motif kricaan ini terinspirasi dari bongkahan marmer merah yang ada di desa ini,” tutur Widiharto.

Sejumlah pelajar pun antusias mencoba membatik. Ari Sarsono (19) kelas XII SMK Putra Bangsa Salaman misalnya tampak kaku menggerakkan canting di permukaan kain. Keringatnya menitik dari dahinya karena tegang dan belum terbiasa.

“Saya baru pertama kali belajar membatik. Sudah lama ingin belajar, tapi belum kesampaian. Tadi agak grogi. Harus konsentrasi. Tangannya agak gemetar,” ucapnya.

Wisata desa ini diinisiasi sejak 2016. Soim bersama sejumlah warga dan pemuda desa menggulirkan wisata untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus menjaga lingkungan terutama melestarikan batuan marmer merah yang terancam rusak akibat pertambangan. Dari sektiar 70 hektar kawasan marmer merah, sebanyak 20 hektar lainnya masuk areal pertambangan sebuah perusahaan.

Selain bisa belajar memerah susu kambing etawa dan membatik, ada pula paket outbound, pelatihan membuat gula semut, berwisata ke kawasan marmer merah di Museum Alam Indonesia, serta pengolahan madu.

“Pengunjung datang ke sini tidak hanya berwista, tapi juga mendapatkan ilmu dan belajar sesuatu,” tutur Soim.

Paket wisata setiap orang berkisar Rp 60.000 sampai Rp 100.000. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih seru, ada pula wisata menggunakan jeep dan menyusuri tiga desa di tiga kabupaten dengan harga paket Rp 1 juta per orang. Tiga desa itu adalah Desa Sedayu di Purworejo, Desa Ngargoretno di Magelang, dan Nglinggo di Kulon Progo. Paket 3 desa-3 kabupten ini disebut Gelang Projo atau Magelang-Kulon Progo-Purworejo.

Pengelolaan wisata desa itu berada di bawah naungan BUMDes Argo Inten. Soim sebagai ketua BUMDes menyampaikan, dalam setahun terakhir terdapat 7.000 wisatawan yang berkunjung ke desanya. Dari jumlah itu, sebanyak 400 orang merupakan wisatawan mancanegara.

Wisata mendorong warga setempat berubah lebih baik misalnya lebih memperhatikan kebersihan lingkungan serta kreatif mengolah potensi kuliner lokal.

Penjabat Kepala Desa Ngargoretno Supomo menyampaikan, wisata mendorong warga setempat untuk berubah lebih baik misalnya lebih memperhatikan kebersihan lingkungan serta kreatif mengolah potensi kuliner lokal seperti mengolah gula semut, tidak sekadar membuat gula merah.

“Ada beberapa pelatihan pengolahan makanan yang diberikan ke warga. Ke depannya ada juga pelatihan bahasa Inggris bagi warga agar bisa melayani tamu dari mancanegara,” tutur Supomo.

Meskipun berada sekitar 9 kilometer arah barat daya dari Candi Borobudur dengan akses jalan yang terjal juga curam, masyarakat di sana tidak ingin sekadar menjadi penonton ramainya kunjungan wisatawan ke candi. Sebagai daerah penyangga wisata, warga berupaya kreatif mengemas aktivitas pertanian dan mengangkat potensi lokal untuk mewujudkan kesejahteraan. Hal itu juga yang merupakan makna dari kata Ngargoretno: ngargo adalah gunung dan retno adalah sejahtera.

Pelajar mengenal batik di Desa Ngargoretno, Salaman, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (26/10/2019).

Upaya mengangkat potensi desa di perbukitan Menoreh juga dilakukan Qozin Purnama (35). Namun, jika Soim mengajak wisatawan untuk datang ke desanya, maka Qozin justru “mendekatkan” produk buatannya ke keramaian wisatawan.

Jika sebelumnya, hanya menjalankan usaha beternak lebah madu di kampung halamannya di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Qozin mengajak istrinya, Nova Darmawanti, bergeser sekitar lima kilometre untuk membuka usaha madu di Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur. Di desa ini, sekitar 30 kotak lebah di rumah Qozin menjadi bagian dari daya tarik wisata.

Di lingkup dalam negeri, madu produksi Qozin dan Nova telah memenuhi permintaan konsumen di Yogyakarta, Jakarta, hingga ke berbagai kota di Papua, Kalimantan, dan Sumatra. Adapun konsumen dari luar negeri, antara lain dari Malaysia, Perancis, Amerika Serikat, China, dan Jepang. “Dalam satu kali kedatangannya, wisatawan Malaysia bahkan pernah membeli 10 botol madu sekaligus,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang, Iwan Sutiarso, mengatakan, geliat kreatif masyarakat sangat dibutuhkan untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan di Kabupaten Magelang. Semakin banyaknya obyek dan agenda wisata diharapkan juga dapat meningkatkan lama tinggal wisatawan di Kabupaten Magelang.

Karena keterbatasan anggaran, pemerintah Kabupaten Magelang memang tidak bisa sendirian menggelar agenda wisata. Berdasarkan Bidang Pemasaran dan Kelembagaan Pariwisata Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang, jumlah agenda wisata yang dibiayai APBD Kabupaten Magelang pada tahun 2018 terdata enam agenda.

Adapun pada 2019 menyusut menjadi lima agenda dan tahun depan hanya disetujui menggelar tiga agenda saja. Untuk penyelenggaraan satu agenda, dana APBD yang dikucurkan berkisar Rp 150 juta hingga Rp 200 juta.

Dengan limpahan potensi, warga di sekitar Perbukitan Menoreh tak ingin berpangku tangan menunggu agenda-agenda wisata dari pemerintah. Mereka berupaya menarik wisatawan dengan pengelolaan potensi ekonomi secara kreatif.

 Sumber : Kompas.com