Tantangan Pengentasan Kemiskinan di Kulon Progo

23 November 2019
Dibaca 302 Kali

Oleh Drs. Mardiya Ka Bidang Pengendalian Penduduk

Meskipun tingkat kemiskinan penduduk Kulon Progo telah mengalami penurunan 1,73Úri kondisi tahun sebelumnya yang besarnya 20,03%, angka 18,30% di tahun 2018 merupakan angka tertinggi di DIY. Sementara di level nasional, DIY dengan angka kemiskinan 11,81% , bukanlah angka yang menggembirakan. Karena angka rata-rata nasional hanya 9,66%. Tercatat, DIY masuk urutan 23 dari 34 provinsi se- Indonesia. Dengan demikian, memang sudah selayaknya, persoalan kemiskinan menjadi bahasan utama dalam rapat kerja pemerintah daerah perdana yang dipimpin langsung oleh Bupati Kulon Progo Drs. H. Sutedjo di Ruang Sermo Komplek Kantor Bupati setempat, Senin (11/11).

Peraturan Daerah Kulon Progo Nomor 12/2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017 – 2022 sebenarnya telah menetapkan target penurunan kemiskinan setiap tahunnya sebesar 2%, sehingga tiga tahun ke depan yakni tahun 2022, angka kemiskinan di Kulon Progo tinggal 12,3%. Sementara pada tahun yang sama, RPJMD DIY menargetkan kemiskinan di Kulon Progo turun menjadi 8,85%. Yang artinya, diharapkan kemiskinan turun 2,5% setiap tahunnya.

Mengentaskan kemiskinan tentu bukan pekerjaan mudah yang dapat diselesaikan secara sektoral. Namun perlu dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan. Banyak upaya yang harus ditempuh. Dan inipun harus diiringi dengan sinergitas antar lembaga yang kuat, penganggaran yang memadai serta dukungan dari masyarakat itu sendiri. Tidak kalah pentingnya, upaya mencari akar masalah mengapa kemiskinan masih banyak terjadi di Kulon Progo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Berdasarkan fakta di lapangan, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Kulon Progo untuk dapat mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga mencapai keberhasilan seperti yang diharapkan. Tantangan tersebut antara lain:

Pertama, selama ini kemiskinan sering diidentikkan dengan pengangguran. Itu artinya, penyediaan lapangan kerja untuk meminimalisir tingkat pengangguran dengan upah minimal sesuai UMK (Rp. 1.613.200) harus dilakukan. Terkait dengan itu, ketersediaan data yang akurat by name by address penduduk yang menganggur di Kulon Progo menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Akan lebih baik lagi, bila data tersebut juga menyediakan alasan mengapa selama ini menganggur, pengalaman kerja yang dimiliki dan pekerjaan yang diharapkan/ingin dilakukan. Dengan demikian, penyediaan lapangan kerja selain harus menyesuaikan kebutuhan perusahaan atau lembaga, juga harus berkreasi untuk menampung tenaga kerja yang selama ini belum terakomodir.

Kedua, mengingat setiap penduduk miskin yang ada di Kulon Progo adalah bagian dari anggota keluarga. Maka pemberdayaan ekonomi keluarga agar terlepas dari kemiskinan, juga perlu menjadi prioritas program Pemerintah Daerah. Keluarga harus menjadi sasaran penggarapan dalam rangka pengentasan kemiskinan selain sasaran langsung pada individu. Pengentasan kemiskinan melalui keluarga perlu dilakukan dengan membuka akses seluas-luasnya pada keluarga miskin untuk bisa berwirausaha, dengan cara membantu permodalan/akses kredit, meningkatkan kualitas produksi dan pengemasannya baik untuk usaha barang maupun jasa, membuka peluang pasar, maupun pengelolaan keuangannya.

Ketiga, menghapus mental model keluarga miskin yang cenderung kurang produktif seperti kurang tekun, kurang serius bekerja, kurang memanfaatkan waktu, kurang pengorbanan dan kurang keberanian untuk memulai usaha. Sifat malas dan cenderung santai dengan landasan berpikir “ono dino ono upo” dan “urip sak tekane” serta “narimo ini pandum” tanpa mau berusaha juga harus dihapuskan. Mental model negatif yang juga harus dihapuskan adalah sifat boros, melakukan pekerjaan sia-sia dan beresiko tinggi untuk miskin seperti berjudi atau kredit untuk konsumtif, serta sifat ingin “diwahke” oleh tetangga atau masyarakat sekitar yang dilandasi oleh alasan gengsi, prestise dan sebagainya.

Keempat, keberanian pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah kreatif dalam rangka pengentasan kemiskinan melalui gerakan yang berbasis masyarakat, seperti Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Gerakan Tresno Tonggo, Gerakan Pemanfaatan Lahan Kosong, dan lain-lain guna melengkapi langkah kreatif dan inovatif yang telah dilakukan oleh Pemda Kulon Progo selama ini melalui Gerakan Bela Beli Kulon Progo. Falsafah “Yen Bisa Nandur Ngopo Tuku”, “Yen Bisa Nggawe Ngopo Tuku” dan “Yen Bisa Golek Ngopo Tuku” harus benar-benar dibenamkan dalam benak hati seluruh masyarakat dan menjadi konsep dasar hidup berkeluarga untuk menghindari hidup boros dan perilaku “lebih besar pasak daripada tiang”.

Selain keempat tantangan tersebut, tentu menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk mengefektifkan kerja Tim Koordinasi Pengentasan Kemiskinan (TKPK) baik di tingkat Kabupaten, Kecamatan maupun Desa yang telah dibentuk dalam rangka mengintegrasikan program penanggulangan kemiskinan mulai tahapan perencanaan, sinkronisasi program, pelaksanaan serta sinergitas antar pelaku (pemerintah, swasta dan masyarakat). Pemerintah juga perlu mengoptimalkan kinerja Kader Penanggulangan Kemiskinan untuk meningkatkan akses penduduk/keluarga miskin serta meningkatkan kegotongroyongan/kepedulian sosial untuk membantu keluarga miskin terutama yang miskin absolut.

Tidak kalah pentingnya, melanjutkan program-program pemerintah daerah yang selama ini berdampak positif terhadap upaya pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Di antaranya program jaminan kesehatan (total coverage), pendampingan keluarga miskin oleh Aparat Sipil Negara (ASN), bedah rumah, genthong rembes, pengumpulan zakat ASN melalui Lembaga Bascam, Bazda dan pentasarufannya, program desa binaan menuju bebas kemiskinan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan program One Village One Product (OVOP) yang mendorong terwujudnya satu desa dengan satu produk unggulan.

Satu keuntungan besar bagi Kulon Progo yang saat ini menjadi lokasi keberadaan Yogyakarta International Airport (YIA) dan banyak menyerap tenaga kerja lokal. Bahkan keberadaan YIA berikut fasilitas pendukungnya telah memberikan multi effect terhadap kebangkitan ekonomi wilayah dengan munculnya usaha-usaha baru di masyarakat seiring dengan banyaknya orang yang singgah di Kulon Progo. Terlebih bertambahnya migrasi masuk ke Kulon Progo telah merangsang tumbuhnya perumahan, perhotelan dan obyek-obyek wisata baru yang banyak menyerap tenaga kerja. Semuanya itu tentu membutuhkan keseriusan pemerintah daerah untuk menanganinya. Bukan sekedar melakukan pembinaan dan fasilitasi, tetapi juga melakukan kontrol dan evaluasi secara rutin maupun berkala untuk melihat seberapa jauh tingkat keberhasilannya serta permasalahan dan kendala yang dihadapi. Dengan demikian, dalam perjalanannya, upaya pengentasan kemiskinan di Kulon Progo betul-betul efektif dan efisien dengan hasil yang menggembirakan karena didukung oleh semua pihak. Semoga.

Sumber